Kantor Sekretariat/Pos RW 05 Kelurahan Glodok, Kecamatan Taman Sari dipercantik dengan berbagai orna...
Glodok adalah kelurahan yang terletak di Kecamatan Taman Sari, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia.[2] Pada masa kini Glodok dikenal sebagai salah satu sentra penjualan elektronik di Jakarta, Indonesia. Secara administratif, daerah ini merupakan kelurahan yang termasuk dalam wilayah kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Kata Glodok berasal dari Bahasa Sunda golodog. Golodog berarti pintu masuk rumah, karena Sunda Kalapa (Jakarta) merupakan pintu masuk ke kerajaan Sunda. Karena sebelum dikuasai Belanda yang membawa para pekerja dari berbagai daerah dan menjadi Betawi atau Batavia, Sunda Kelapa dihuni oleh orang Sunda. Perubahan 'G' jadi 'K' di belakang sering ditemukan pada kata-kata Sunda yg dieja oleh orang non-Sunda, yang kemudian banyak menghuni Jakarta. Sampai saat ini di Jakarta masih banyak ditemui nama daerah yang berasal dari Bahasa Sunda meski dengan ejaan yang telah sedikit berubah.
Nama Glodok juga berasal dari suara air pancuran dari sebuah gedung kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis) – pusat pemerintahan Kumpeni Belanda di kota Batavia. Gedung persegi delapan ini, dibangun sekitar tahun 1743 dan sempat dirubuhkan sebelum dibangun kembali tahun 1972, banyak membantu serdadu Kumpeni Belanda karena di situlah mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tak cuma bagi serdadu Kumpeni Belanda tetapi juga dimanfaatkan minum bagi kuda-kuda serdadu usai mengadakan perjalanan jauh. Bunyi air pancurannya grojok..grojok..grojok. Sehingga kemudian bunyi yang bersumber dari gedung kecil persegi delapan itu dieja penduduk pribumi sebagai Glodok.[3]
Dari nama ”pancuran” akhirnya menjadi nama sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Pancoran atau orang di kawasan Jakarta Kota menyebutnya dengan istilah ”Glodok Pancoran”. Hingga kini kedua nama yakni Glodok dan Glodok Pancoran masih akrab di telinga orang Jakarta, bahkan hingga ke luar Jakarta.
Pada tahun 2016, Kelurahan ini dihuni oleh 8.626 penduduk yang terbagi dari 4.407 laki-laki dan 4.219 perempuan dengan seks rasio 104,46 dan 4.772 kepala keluarga.[1]
Kemudian dalam hal keagamaan, penduduk kelurahan ini juga cukup beragam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kota Jakarta Barat tahun 2020 mencatat jumlah pemeluk agama di kelurahan ini, di mana Buddha sebanyak 42,8%, kemudian Kristen 37,9% (Protestan 22,1% dan Katolik 15,8%), Islam 19,3%, dan sebagian kecil beragama Hindu 0,1%.[6]
Data Agama di Glodok, Jakarta Barat(2020)
Wikimedia Commons memiliki media mengenai
© 2024 - Pasarjaya.co.id All Rights Reserve
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Fraksi PDIP, Hj. Ida Mahmudah dan Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Gilbert Simanjuntak mengunjungi Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Kehadiran mereka untuk ikut melihat kondisi terkini Pasar Induk Kramat Jati yang rencananya akan dilakukan revitalisasi.
Kehadiran kedua anggota dewan ini juga untuk berkomunikasi dengan para pedagang yang bangunan kiosnya direncanakan akan dilakukan revitalisasi. Selain itu mereka juga menerima masukan dari pedagang agar ada kesamaan persepsi dengan pengelola pasar dan hak dan kewajiban pedagang tidak dikurangi
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Hasan Basri Umar tinjau harga pangan menjelang Ramadhan ke BUMD Pangan, PT Tjipinang Food Station, Perumda Pasar Jaya, dan Perumda Dharma Jaya, Selasa (29/03). Dalam peninjauannya ia meminta BUMD pangan harus rutin dalam menggelar operasi pasar agar tidak adanya oknum yang sengaja menimbun atau mematok harga kebutuh an pokok di atas harga normal.
“Harus rutin, kalau tidak harganya akan melonjak. Contoh saja harga diluar seperti minyak satu liter Rp28 ribu, tapi ternyata BUMD menyediakan minyak dengan harga Rp24 ribu. Ini harus dipantau terus agar stabilitas harga aman,” ujarnya saat mengunjungi gudang beras PT Tjipinang Food Station, Jakarta Timur, Selasa (29/3).
Di lokasi yang sama, anggota Komisi B Taufik Zoelkifli meminta agar PT Tjipinang Food Station, Perumda Pasar Jaya, dan Perumda Dharma Jaya melakukan percepatan dan penjagaan stok kebutuhan daging sejak dini.
“Untuk penjagaan kita meminta untuk meremajakan cold storage, kalau ditambah maka persediaan bisa lebih mudah. Kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi,” terangnya.
Ketiga BUMD pangan pun mengaku sudah menyiapkan skema untuk pemenuhan kebutuhan warga Jakarta dan memastikan ketersediaan stok pangan aman.
Direktur Utama Dharma Jaya Raditya Endra Budiman mengatakan sudah melakukan kerjasama dengan beberapa BUMD daerah untuk mendapatkan stok daging sapi dan unggas.
“Kami siap, stok aman, karena kami telah mengembangkan kerjasama kemitraan untuk mendapatkan pasokan bahan baku baik ternak daging, maupun ayam yang kompetitif berkualitas dan berkelanjutan,” tuturnya di Perumda Dharma Jaya, Cakung Jakarta Timur.
Di sisi lain, Direktur Perkulakan dan Retail Perumda Pasar Jaya Anugrah Esa mengungkapkan telah menyetok sejumlah komoditas pangan seperti cabai dan bawang di dalam controlled atmosphere storage (CAS) yang mampu menampung hingga 16 ton, sehingga ia dapat memastikan harga tetap stabil hingga Idul Fitri.
“Kita disini punya tiga CAS. Satu CAS bisa menyimpan 16 ton. Ketika butuh untuk stabilisasi harga, baru kita keluarkan. Jadi masyarakat cukup tenang dalam menghadapi Ramadan tahun ini,” ucapnya di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.”
Hal serupa juga dikatakan Direktur PT Tjipinang Food Station Pamrihadi Wiraryo. Ia memastikan stok beras untuk satu bulan kedepan aman.
“Kebutuhan beras kita 30 ribu, saat ini kita sudah ada stok 33 ribu. Dalam waktu dekat kita juga akan panen raya di 7.980 hektare yang akan menghasilkan gabah kering 45.486 ton. Jadi dapat kami pastikan stok beras aman,” tandasnya.
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, TAMANSARI - Glodok yang dikenal sebagai kawasan Pecinan di Jakarta itu ternyata dulunya bernama Pancoran di masa Hindia Belanda.
Menurut Arkeolog UI, Candrian Attahiyat, asal usul nama Glodok berawal dari sebuah Pancoran atau pancuran air di sekitar wilayah itu.
"Karena dulu di situ ada teknologi baru pendistribusian air dari Kali Ciliwung, kemudian air itu dialirkan ke arah Kota Tua dan sekitarnya. Maka dulu disebut Pancoran," jelasnya pada Jumat (8/7/2022).
Namun, karena pancoran itu kerap berbunyi 'geluduk-geluduk', warga lokal menyebut wilayah itu dengan sebutan Glodok.
Sementara keterangan Candrian serupa dengan buku "Asal Usul Nama Tempat di Jakarta" karya Rachmat Ruchiat yang diterbitkan Masup Jakarta.
Baca juga: Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta, Ikon Baru Ibu Kota Karya Pematung Bali
Dalam keterangan buku itu, penamaan Glodok karena tiruan bunyi pancuran air masuk akal.
Sebab, pada tahun 1670 terdapat semacam waduk penampungan air dari Ciliwung yang dikucurkan dengan pancuran kayu dari ketinggian 10 kaki.
Dari buku yang sama, keterangan lain menyebutkan nama Glodok diambil dari sebuah jembatan di Kali Besar bernama Jembatan Glodok.
Di Jembatan itu terdapat sejumlah anak tangga.
Penduduk sekitar sering menggunakan tangga itu untuk mandi dan mencuci.
Dalam bahasa Sunda, tangga itu disebut dengan Golodok.
Baca juga: Anies Baswedan Bangun Kembali Gapura Chinatown Jakarta di Glodok yang Dirobohkan Kependudukan Jepang
Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta
Gapura Chinatown Jakarta jadi ikon baru di kawasan Pecinan, Glodok Pancoran, Jakarta Barat.
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, TAMANSARI - Glodok yang dikenal sebagai kawasan Pecinan di Jakarta itu ternyata dulunya bernama Pancoran di masa Hindia Belanda.
Menurut Arkeolog UI, Candrian Attahiyat, asal usul nama Glodok berawal dari sebuah Pancoran atau pancuran air di sekitar wilayah itu.
"Karena dulu di situ ada teknologi baru pendistribusian air dari Kali Ciliwung, kemudian air itu dialirkan ke arah Kota Tua dan sekitarnya. Maka dulu disebut Pancoran," jelasnya pada Jumat (8/7/2022).
Namun, karena pancoran itu kerap berbunyi 'geluduk-geluduk', warga lokal menyebut wilayah itu dengan sebutan Glodok.
Sementara keterangan Candrian serupa dengan buku "Asal Usul Nama Tempat di Jakarta" karya Rachmat Ruchiat yang diterbitkan Masup Jakarta.
Baca juga: Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta, Ikon Baru Ibu Kota Karya Pematung Bali
Dalam keterangan buku itu, penamaan Glodok karena tiruan bunyi pancuran air masuk akal.
Sebab, pada tahun 1670 terdapat semacam waduk penampungan air dari Ciliwung yang dikucurkan dengan pancuran kayu dari ketinggian 10 kaki.
Dari buku yang sama, keterangan lain menyebutkan nama Glodok diambil dari sebuah jembatan di Kali Besar bernama Jembatan Glodok.
Di Jembatan itu terdapat sejumlah anak tangga.
Penduduk sekitar sering menggunakan tangga itu untuk mandi dan mencuci.
Dalam bahasa Sunda, tangga itu disebut dengan Golodok.
Baca juga: Anies Baswedan Bangun Kembali Gapura Chinatown Jakarta di Glodok yang Dirobohkan Kependudukan Jepang
Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta
Gapura Chinatown Jakarta jadi ikon baru di kawasan Pecinan, Glodok Pancoran, Jakarta Barat.
Gapura yang tampak cukup megah dan menawan ini ternyata diukir oleh para pematung I Komang Witantra (44), asal Gianyar, Bali.
Pematung dari Tiga Dimensi Sculpture ini mengatakan awalnya kontraktor Pulau Intan melakukan seleksi pembuatan ukiran gapura itu kepada sejumlah studio sculpture di Bali.
"Ada sekitar 3 atau 4 tim yang diseleksi dan kami yang dipilih," ujar Komang kepada TribunJakarta.com di lokasi Gapura, Pancoran, Glodok, Jakarta Barat pada Selasa (5/7/2022) lalu.
Baca juga: Melihat Bangunan GKI Tertua di Kwitang: Awalnya Pendeta Belanda Beli Rumah Berdinding Bambu
Pihak kontraktor memercayai pengukiran gapura itu kepada Studio Tiga Dimensi Sculpture dari Gianyar.
I Komang Witantra kemudian berangkat ke Jakarta untuk melihat desain gapura yang akan dibuat di China Town Glodok.
"Proses pengerjaannya di Bali dulu, kemudian baru dibawa dan dipasang di Glodok," lanjutnya.
Komang dan tim mengerjakan sesuai dengan pesanan dari kontraktor.
Mereka diberi tugas mengukir ornamen sementara konstruksi dan atap gapura dibuat oleh kontraktor.
Para pematung dari Gianyar itu mengukir ornamen khas Tionghoa di empat pilar Gapura Chinatown Jakarta itu seperti ornamen naga, api dan awan.
Seluruh ornamen diukir di dua pilar berukuran sekitar 6 meter dan dua pilar berukuran 9 meter.
Baca juga: Kisah Ragusa, Toko Es Krim Tertua di Jakarta dengan Rasa Melegenda
Pilar-pilar gapura itu dikerjakan oleh 19 seniman ukir.
"Masing-masing pilar ada satu naga," pungkasnya.
Diresmikan Anies Baswedan
Adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang meresmikan Gapura Chinatown Jakarta di pecinan itu pada 30 Juni 2022.
Ia bercerita sebenarnya gapura ini sudah ada sejak abad ke-18. Kemudian pada masa kependudukan Jepang, gapura yang asli dihancurkan.
"Sesudah itu gapuranya tidak pernah dibangun kembali. Tahun 2018 sekitar bulan Februari waktu itu, saya datang kemari.
Pak Bambang Soemarko, Pak Anwar, Pak Yusuf waktu itu kita ngobrol sama-sama menyampaikan aspirasi, 'Pak, boleh tidak pak kalau gapura yang dulu ada di sini dibangun kembali?'.
Waktu itu saya katakan boleh sekali," ucap Anies, Kamis (30/6/2022).
Sayangnya, pembangunan gapura yang direncanakan dari 2018 ini sempat tertunda lantaran pandemi Covid-19 dan baru terealisasi di tahun ini.
Anies berharap agar ikon tersebut dapat menjadi salah satu simbol persatuan dan kesetaraan warga di Jakarta.
Pasalnya, konsep rancangan Gapura Chinatown Jakarta ini dinilai unik dari Gapura Chinatown yang ada di belahan dunia manapun.
Baca juga: Melihat Meriam Si Jagur yang Kerap Diartikan Vulgar, Ada Tulisan Kecil Ungkap Proses Pembuatan
Bangunan ini bertekstur dari unsur batu (berwarna abu-abu), coklat pada bagian genting, serta unsur warna hijau perpaduan budaya Betawi, dengan tulisan berwarna coklat kayu.
"Bisa kita lihat keunikannya, di sini terlihat tidak ada unsur warna merah atau kuning seperti gapura-gapura kawasan Pecinan pada umumnya.
Itulah pembeda utama Gapura Chinatown Jakarta dengan gapura-gapura pada umumnya.
Di sini terlihat ukiran naga dan unsur awan yang dominan pada gapura, melambangkan kemakmuran dan perlindungan dari Sang Maha Pencipta," ungkapnya. (*)
Milton FENG
The hotel is located in the old city, and the environment is relatively poor. I specifically chose a hotel in the old city because I wanted to understand the real life conditions of the locals.
Original TextTranslation provided by Google